Secara pribadi saya mengucapkan Selamat atas terpilihnya Dwi Soetjipto sebagai Direktur Umum Pertamina setelah pada Jumat kemarin (28/11) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno menunjuk Dwi Soetjipto sebagai Direktur Utama PT Pertamina (Persero) yang baru.
Pengangkatan ini tentu sangat mengejutkan bagi banyak kalangan mengingat Dwi Soetjipto sama sekali tak memiliki background migas.
Tapi bagi sebuah BUMN yang merupakan perusahaan milik negara, peristiwa ini bukan hal baru. Sebelumnya, di era SBY, Dirut PLN dijabat oleh Dahlan Iskan yang notobene berlatar media. Sepertinya ada faktor politis yang menyertai setiap penunjukan Dirut BUMN. Bisa jadi. Mungkin. atau.. 🙂
Tapi benarkah dirut BUMN itu jabatan politis dan sama sekali tidak mempertimbangkan latar belakang profesional kandidat?
Saya rasa tidak. Logika sebuah manajemen perusahaan atau bidang apapun, semakin tinggi level semakin jauh dari urusan teknis. Sebaliknya, semakin bawah level semakin berkaitan erat dengan urusan teknis. Sehingga urusan teknis core bisnis perusahaan tak lagi menjadi faktor utama kualifikasi perekrutan. Yang dibutuhkan seorang pemimpin adalah kemampuan mengelola perusahaan.
Dan melihat track Dwi Soetjipto, kemampuannya dalam manajemen perusahaan berskala besar sudah tak diragukan lagi. Saat mengikuti serangkaian fit proper test pemilihan dirut Pertamina, putera terbaik ITS berhasil menyingkirkan kandidat lain seperti dirut BRI, dirut Bank Mandiri, hingga Bos General Electric Indonesia Handry Satriago.
Sehingga saya melihat kegagalannya saat seleksi menteri di kabinet kerja Jokowi beberapa waktu lalu bukan karena kalah bersaing, tapi memang sengaja disiapkan untuk menduduki pos yang sangat vital dan strategis bagi kemandirian bangsa Indonesia, yakni sektor migas.
Mampukah tugas itu diembannya ? Sementara dirut Pertamina sebelumnya, Karen Agustiawan, yang jelas tahu betul soal migas saja mengundurkan diri.
Selama menjabat, Karen berhasil membuat Pertamina jauh lebih untung, yakni dengan mengalami kenaikan laba sebesar 107,6 persen dari Rp17,1 triliun (2007) menjadi Rp35,77 triliun (2013).
Bahkan dia menjadi membawa Pertamina masuk dalam jajaran perusahaan Fortune Global 500 di tahun 2013, peringkat 122. Selain itu, di tahun 2014, Pertamina juga berhasil bertahan di daftar Fortune Global 500, yakni di peringkat 123 (Okezone.com).
Mari kita tunggu babak selanjutnya. Siapa tahu dengan predikatnya sebagai pendekar silat ada jurus-jurus rahasia yang akan dikeluarkan demi mewujudkan kemandirian bangsa di bidang migas.
Dwi Soetjipto, Jago Silat yang Memimpin Pertamina
Siapakah sebenarnya Dwi Soetjipto? Dikutip dari Jawa Pos, sosok DWI SOETJIPTO memang istimewa. Bukan hanya tanggal lahirnya yang bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November. Tapi juga cara ayah empat putera itu dalam menapaki satu per satu tangga sukses yang selalu di luar dugaan.
Lahir 59 tahun lampau di kampung kecil di Krembangan, Surabaya, Dwi sudah dihadapkan pada kondisi serba kekurangan. Sebagai anak ayah yang bekerja sebagai penjual roti dan ibu yang menjadi pembantu rumah tangga di rumah saudagar Tionghoa, Dwi sudah harus mandiri untuk memenuhi semua keinginan.
“Berjualan kue di pasar hingga menjajakan air kelliling pernah saya lakukan agar dapat uang untuk sekolah,” cerita Dwi dalam sebuah kesempatan wawancara khusus.
Bahkan, karena lingkungan kampung yang keras, Dwi yang berpostur kecil mati-matian belajar pencak silat agar tidak menjadi bahan ledekan teman-temannya. Berawal dari ikhtiar agar terus survive itu, pencinta hobi musik tersebut tak hanya menyandang sabuk hitam pencak silat, namun juga jiwa pantang menyerah dan ulet.
Dwi lulusan terbaik jurusan Teknik Kimia ITS pada 1980. Sebenarnya banyak tawaran beasiswa agar dia melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Namun, dia memutuskan langsung bekerja dengan masuk tanpa tes ke Semen Padang pada 1981. Berbagai penugasan kemudian dijalani dengan baik sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Direktur Litbang Semen Padang pada 1995 sampai akhirnya bablas menjadi Dirut pada 2003.
Saat menjabat Dirut Semen Padang itulah, kualitas Dwi betul-betul diuji. Dia dihadapkan pada beragam konflik demonstrasi, mogok kerja, hingga penyanderaan dirinya saat oknum warga Padang dan karyawan meminta spin-off (pemisahan dari induk Semen Gresik). Namun dengan gaya kalem dan selalu merendah, Dwi berhasil mengatasi konflik sehingga Semen Padang bertransformasi menjadi sebuah perusahaan yang sehat.
Atas prestasi tersebut, dua tahun kemudian, Dwi diganjar jabatan Dirut Semen Gresik. Tantangan yang dihadapi Dwi Soetjipto makin besar karena harus menyatukan tiga BUMN semen, yakni Semen Padang, Semen Gresik, dan Semen Tonasa, yang masing-masing memiliki “fanatismen” sendiri. Sukses menunaikan tugas tersebut, Dwi diminta memimpin proses transformasi di perusahaan sehingga menjadi Semen Indonesia Group.
Saat ini Semen Indonesia merupakan salah satu BUMN terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi terbesar di Asia Tenggara sekaligus paling menguntungkan di dunia. Tahun lalu Semen Indonesia sukses membuka pabrik di Vietnam sehingga menjadi BUMN pertama berstatus multinasional (multinational state-owned company). Setelah diambil alih Semen Indonesia, pabrik Thang Long di Hanoi, Vietnam, itu sukses mengekspor ke Thailand. Kagum atas prestasi Dwi, pers dan komunitas korporasi di Vietnam memberi nama bagi Dwi Soetjipto, yaitu Vu Van Qui atau Vu Vi Tho.
Leave a Reply