Debat Soal Wisma

Berkongkow dengan teman-teman selepas magrhib asyik juga. Terlebih jika sambil menunggu hidangan berbuka. Perut yang mulanya lapar tak lagi terasa. Contohnya di sore itu, di emperan dekat masjid di Bumiayu, kita bertiga cerita ngalor ngidul tentang banyak hal. Menjadi seru tatkala Ischak mereview salah satu novel favoritnya. Novelnya agamis, tp dikisahkan tentang kehidupan di kompleks Dolly.

“Wow, ternyata Dolly terbesar se-Asia Tenggara ya Mas?”

“Ya Jelas lah, tatkala aku SMA ketika program Senam Pagi Dolly diadakan, terkumpul enam ribu pelacur di jalanan kompleks.”

“Masa mas”

“ya, pokoknya disana ada berapa RW dan puluhan RT, ratusan wisma dengan berbagai koleksinya, saling bersaing mendapatkan pelanggan. Ada wisma Flamboyan, wisma Heppy, wisma Mawar, wisma Bahagia, wisma melati, Wisma Ayu, Wisma Semlohei, dan seterusnya. Satu wisma omsetnya bisa 60 juta perbulan. Dari sumber kawasan inilah Surabaya bisa kaya. Susah digusur. Setiap wisma jadi bisnis pejabat dan tentara. Omsetnya milyaran. Pelacuran di Surabaya menurut cerita memang mengiringi sejarah kota.”

“Jadi, asal Surabaya itu dari Dolly?” Tanya Faisol meledek.

Ya Gak, maksudnya saat surabaya lahir pelacuran sudah ada, dan ikut besar ketika kota juga berkembang.”

“Aneh, padahal Imam Abu Hanifah urung tinggal di suatu daerah begitu tahu disitu ada pohon yang tumbuh dari tanah bekas minuman keras. Sedang ini di surabaya malah tumbuh jadi kota.” kata si Ishack.

“Tapi mas, ngomong-ngomong koq hapal dengan nama-nama Wisma? Pasti sering kesana ya…”

“Ya gaklah, aku karang sendiri kalian juga gak bakal tahu. Kan gak mungkin nama-nama wisma disana Wisma Rahman, Wisma Muttaqien, Wisma An-Nisa, “

Ha Ha Ha… Semunya tertawa bareng. Asyik kan. []

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Reply

1 komentar untuk “Debat Soal Wisma”

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *