9 Juni 2010

Ambigu 1 : Ketiadaan Burung Hud-Hud

"Hidup itu penuh pilihan-pilihan". Kata "pilihan" satu saja sudah cukup, karena pilihan itu sudah mewakilkan opsi yang lebih dari satu. Tapi karena di dunia ini kita sering mendapati beragam opsi maka jumlah "pilihan" terpaksa saya bikin dua. Terserah kata EYD :). toh berapapun jumlah opsi itu tak penting. Kualitas dari opsi yang membuat seseorang jadi bingung memilih, seperti peribahasa memakan buah simalakama. Dimakan ibu mati, tak dimakan bapak mati. Doh.

Tulisan ini saya buat khusus guna menanggapi isi hati seorang sahabat yang dicurahkan di sana dimana dia telah diminta seorang guru (yang harus dihormati) untuk kembali tekun belajar. Belajar tekun itu gampang. Yang menjadi masalah bagi dia karena dirinya punya jiwa aktivis yang sangat mengakar, susah untuk dihilangkan. Kalaupun dihilangkan itu berarti dia harus menanggung kekecewaan dari banyak orang dengan latar belakang organisasinya.

Kalau dari skala prioritas sebenanra mudah mana yang harus dipilih . Jika pembaca disodorkan sebuah pilihan, sholat sendirian atau sholat berjamaah. Pasti banyak yang memilih jamaah, karena tahu bahwa pahala berjamaah 27 derajat kali lipat dibanding sendiri. Sama halnya jika disuruh memilih, mementingkan kepentingan bersama atau sendiri. Orang bijak pasti memilih yang bersama harus didahulukan!.

Jadi, menjawab masalah damai cukup mudah: teruslah berorganisasi! Karena tanganmu membuat segala sesuatu terus berjalan. Kehidupan berjalan. Kamu tekun belajar Cuma membuat bangga guru demi mengangkat prestasi sekolah. Artinya, ketekunanmu menjadi tumbal dari keinginan sekolah agar prestasi sekolah tetap gemilang di mata dunia pendidikan. Demikian dengan guru. Seorang guru akan merasa puas jika anak didiknya berprestasi. Itu akan menjadi paramater keberhasilan guru di kelas, tak peduli latar belakang sang murid. Padahal, maaf : itu adalah jalan pintas, darpada "saya menyuruh anak2 yang lain berprestasi lebih baik meminta seorang damai kembali seperti dulu." barangkali itu yang menjadi pertimbangan.

Sobat, menurut saya itu tidak adil. jika saya seorang guru mendapati di tahun pertama (misal isi kelas 25) 24 siswa tidak berpreastasi dan 1 saja yang berprestasi, kemudian ditahun berikutnya yang 1 siswa tersebut (sebutlah damai) tidak lagi berprestasi maka saya tidak akan menyuruh damai kembali berprestasi. Tanggung jawab saya tidak pada damae saja. Dia bukan murid satu2nya saya. Saya biarkan damai menjadi pinter atau bodoh. Yang saya inginkan, ANAK2 YANG BERJUMLAH 24 ITU HARUS MENJADI BERRPRESTASI!!!!. Itulah KEADILAN PENDIDIKAN.

Saya jadi teringat ilmu parenting. Tentang kondisi banyak anak SD. Umumnya, dalam dunia anak kecil, selalu si A saja yang juara kelas, disanjung ibu guru, dst. Tahun berganti, si A tetap juara jelas, di sanjung lagi, dst. Tahun berganti tahun begitu seterusnya. Apa yang terjadi kemudian. Anak-anak yang lain akan menjadi pecundang. Dia akan tumbuh berkembang menjadi seorang the loser, karena kurangnya dia diperhatikan oleh seorang guru. Ini adalah sebuah ketidak adilan, yang mana telah terjadi juga pada diri sang guru di sebuah pesantren.

Kenapa teman2 damae seperti dibiarkan. Hanya damae yang ditegur, padahal jelas turunnya prestasi damae bukan karena kemalasan, kebodohan. apalagi narkoba. Dia berkorban jadi penerus beragam kehidupan di pondok.

Mungkin lebih baik sang guru mengambil hikmah dari kisah Sulaiman dan ketiadaan burung hud-hud.

Dikisahkan, setelah membangunkan Baitul Muqaddis, Nabi Sulaiman menuju ke Yaman. Tiba di sana, disuruhnya burung hud-hud (sejenis pelatuk) mencari sumber air. Tetapi burung berkenaan tiada ketika dipanggil. Ketiadaan burung hud-hud menimbulkan kemarahan Sulaiman. Selepas itu burung hud-hud datang kepada Nabi Sulaiman dan berkata: "Aku telah terbang untuk mengintip dan terjumpa suatu yang sangat penting untuk diketahui oleh tuan..."

Singkat cerita: setelah melewati beberapa bulan (/tahun) kemudian, seluruh ratu dan segenap penduduk Balqis menjadi beriman.

***

Damae sang burung hud2. Hilangnya damae bukan karena kemalasan. Tapi dia akan kembali 'tuk membawa kabar baik tentang gemilangnya nama organisasi, nama sekolah dan pondok. Sang Guru, jadilah seperti Sulaiman yang menghadapi kaum (baca: murid) nya dengan kebesaran nilai dan keluasan memandang.

Mungkin anda belum baca ini:

Ambigu 2 : Berpikir Kritis disaat Kritis

Print Friendly, PDF & Email

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Paruh Baya

Aktif di kegiatan tulis menulis dan membaca sejak kelas 1 SD kala sang Guru dengan lantang memanggil. Lantas berdiri ke depan, menghadap papan tulis hitam. Dengan tatapan kosong, keringat dingin, tangan penuh gemetar, memegang penggaris panjang, hingga mengeja satu demi satu susunan huruf. "Ini ibu budi"

Ternyata "bapak budi"
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram