“Matengan opo campur?”
“Matengan ae”
“Lombok siji ta loro?”
“Pitu!”
Percapakan singkat antara pembeli dan penjual mengawali proses transaksi rujak cingur pada suatu siang di Surabaya. Tak ada pertanyaan lanjutan, karena si penjawab, yang tak lain adalah penjual rujak langsung memilih 7 cabe merah dan beberapa butir kacang goreng untuk dimasukkan ke layah. Ia sudah begitu mengenal ‘selera pedas’ pelanggannya yang satu ini.
Berikutnya ia menjumput sebiji asam jawa, memarut gedhang klutuk, memasukkan semua ke layah untuk diuleg bersama gula merah, gula pasir, garam, dan sedikit air–untuk memudahkan seluruh bahan menyantu dan melumer–bersama 2 sendok petis ikan dan udang. Matanya hanya fokus ke benda bulat terbuat dari batu kali itu. Bila sudah demikian, susah menyelanya dengan obrolan. Maklum, sambil terus menguleg dia harus memastikan tahu-tahu dalam wajan di sampingnya tidak terlalu lama tenggelam di minyak goreng panas.
Setelah seluruh bahan ulegan bercampur menyerupai adonan pasta hitam, cingur sapi empuk hasil proses perebusan yang cukup lama diangkat dari panci, dipotong kecil-kecil lalu dimasukkan pula ke layah. Giliran kangkung dan kacang panjang rebus ditiris, lalu diambil beberapa untuk dicampur bersama ulegan. Jemarinya terlihat lincah menata tahu,tempe goreng, lontong, serta sayuran lain dalam 1 layah. Kali ini buah-buahan–yang umumnya masuk dalam item rujak cingur–tidak turut serta, karena si pemesan meminta matengan alias semua dari bahan matang saja yang sudah diamasak di atas kompor.
Begitulah cara nenek tua tadi menghidangkan rujak cingur, satu jenis makanan tradisional khas dari Jawa Timur. Makanan tradisional ini dicintai hampir semua orang Surabaya. Dan salah satu penjual tersohor di kalangan kebanyakan pecinta ruak cingur adalah Bek Yah, perempuan tua yang puluhan tahun berjualan rujak di kampung Bratang.
“Campuran petisnya cukup berani,” testimoni seseorang dari Jombang yang berkesempatan menikmati sajian Bek Yah kala ke Bratang untuk menjumpai teman. Lapak Bek Yah ini disukai karena ia tak hanya mengandalkan menu rujak cingur, tapi juga menyediakan rujak uleg maupun tolet, sejenis rujak dengan bumbu dasar kecap manis dan petis.
***
Tak ada yang tahu persis berapa lama Bek Yah berjualan, karena sulit membayangkan ada orang yang repot mengarsipkan pengalaman kerja sebagai penjual rujak di kampung, maklum pekerjaaan rakyat biasa. Pekerjaan jenis ini dipandang tak lebih dari cara menyambung nafas sehari-sehari kaum kecil urban. Tidak ada yang terlalu peduli, mungkin meski oleh pelanggan yang cinta mati dengan rujaknya.
Nenek ini memang bukan asli Surabaya. Ia merantau sejak berpuluh-puluh tahun lalu dari Mojokerto. Di kampung Bratang dia hidup menumpang di tempat adiknya yang tinggal di rumah tipe 36, bercampur dengan 3 keluarga lain.
Sebagai pendatang, kisahnya jauh dari kata manis. Pernah suatu ketika lapaknya terlihat kosong, hingga berhari-hari. Banyak pelanggan kecewa mendapati Bek Yah tak buka lapak. Usut punya usut ternyata dia telah boyongan ke rumah saudara yang berada di Rungkut. Kasak-kusuk tetangga, kepindahannya itu lantaran berantem dengan salah satu penghuni di rumah sebelumnya. Entah apa yang jadi masalah, tetangga sekitar meyakini itu hal sepele: piring kotor menumpuk dibiarkan tak tercuci, nasi yang timpang, rebutan jemuran, atau mungkin lombok yang kerap hilang dari ruang penyimpanan. Yang jelas, di tempat barunya itu Bek Yah tetap jualan rujak. Ya, keahlian apa lagi. Mengingat usia yang sudah semakin renta tak mungkin banting stir ke usaha lain.
Aksioma ‘tak ada konflik yang abadi’ rupanya berlaku pada Bek Yah. Apalagi yang berseteru juga sodara. Sudah sama sama tua, lucu kalau masih bengkerengan. Singkat cerita, hubungan antarsodara itu akhirnya kembali rukun. Dia juga rindu berjualan lagi di Bratang. Terlebih di tempat barunya seperti kurang bawa hoki. Orang-orang di Bratang, pikir Bek Yah, pasti juga menantinya kembali. Maka sore itu dia memutuskan balik kembali ke tempat sodaranya. Rona sumringah terpancar dari banyak kerutan di wajah tuanya.
Namun, Bratang telah berubah. Hadir beberapa penjual rujak di lingkungan sekitar. Lapak Bek Yah tak seramai dulu. Biasanya, sebelum jualan digelar, beberapa orang sudah antre dan inden, sekarang… “Sepi nak, kadang sehari cuma 2 pincuk,” keluhnya dengan mata berkaca-kaca.
Hilangnya dia beberapa bulan rupanya sudah membuat pelanggan pindah ke lain penjual rujak. Tapi sebenarnya bukan karena itu saja. Ada gosip tetangga yang menyoalkan penyakit Bek Yah sehingga banyak orang terpengaruh dan enggan membeli rujaknya. Bentuk persaingan bisnis ala kampung.
Sampai suatu ketika, nenek itu benar-benar sakit yang membuatnya tak berjualan beberapa hari, sekian minggu, bahkan berbulan-bulan. Banyak yang menduga ia tak akan lagi berjualan setelah melihat lapak rujaknya digusur dan diganti warung kopi oleh keponakannya.
Bek Yah semakin terpinggirkan, dan mungkin terlupakan. Barangkali satu-satunya yang berarti baginya hanyalah warung rujak, di mana ia bisa berkarya dan menyajikan racikan rujak cingur terbaik untuk pembelinya. Sampai di usia 85 tahun dia masih hidup melajang, belum merasakan indahnya punya pasangan.
***
Duapuluhlima September 2015, Jumat, matahari baru beranjak dari peraduan, tanda awal hari. Lalu lalang orang mengawali aktivitas di sepanjang jalan Bratang. Para pekerja kantoran, guru SD, dan anak sekolah berangkat ke tujuan masing-masing. Kampung sepi pada pagi itu, tak ada yang tahu pasti kapan Bek Yah menghembuskan nafas terakhir. Tahu-tahu seorang penghuni rumah mendapatinya telah terbujur kaku di kasur dengan mata terkatup dan kelopak menghitam. “Sudah beberapa hari ini dia malas
makan.” Kata mbaknya.
Bek Yah pergi meninggalkan kenangan petis terlezat yang pernah memanjakan lidah banyak orang di Bratang. Usai dishalati di Masjid RW bakda sholat Jumat, Jasad Bek Yah atau Kamsiyah (1935-2015) dimakamkan di TPU Bratang. Selamat jalan Bek yah.***
Catatan kaki:
Layah : cobekan, jawa.
Ada beda antara rujak cingur dan uleg. Yang satu ada tambahan cingur, satunya tidak. Tapi versi lain mengatakan kalau rujak uleg itu rujak yang hanya dibumbui ulegan kacang tanpa petis.
Rujak tolet hanya beredar di Surabaya. Bahan utama dari jenis rujak ini adalah petis dan kecap manis. Mungkin karena cara makannya yang
ditolet sehingga dinamakan rujak tolet.
Pincuk : wadah terbuat dari daun pisang. Biasa untuk tempat nasi pecel dan rujak.
Ilustrasi rujak diambil dari warungmungil.com dan goofydreamer.wordpress.com.
makanan yang hampir punah, tergantikan oleh makanan siap saji