Final Call. Petunjuk Kecurangan?

FINAL CALL adalah panggilan terakhir bagi calon penumpang untuk naik ke pesawat sebelum garbarata ditutup. Tujuannya untuk memastikan (verifikasi)  masih ada atau tidak pemegang tiket di lokasi, agar jangan sampai tertinggal lepas landas.

Saya memakainya dalam keperluan verifikasi, bukan untuk penumpang pesawat, melainkan verifikasi alumni di sistem Database IKARHOLAZ.

Final call saya tujukan untuk 298 alumni yang berbulan-bulan, bahkan setahun lebih berstatus PENDING. Tujuanya untuk memastikan keabsahan status alumni. Tidak lagi berlama2 di kelompok PENDING. Kalau dalam panggilan tersebut masih ga respon ya you knows lah… Verifikator harus bagaimana, Pemirsapun juga bisa memahami.

Hasil dari final call itu: 265 gak respon dan 33 berbalas. Dengan komposisi sbb (dalam kurung adalah jumlah alumni)

Yang respon: 2018 (3), 2015 (1), 2010 (2), 2006 (1), 2003 (3), 2000 (1), 1999 (1), 1993 (5), 1991 (2), 1990 (3), 1998 (7), 1984 (2), dan 1982 (1). Dari 33 orang tsb 2 diantaranya mengkoreksi tahun kelulusan.

Yang tidak respon: 1993 (112), 2000 (28), 1983 (23), 1984 (16), 1982 (16), 2002 (10), 1988 (3), 2017 (3), 1987 (2), 1994 (2), 1991 (2), 1990 (2), 2015 (2), 2007 (1), 2006 (1),  1999 (1), dan 1986 (1).

Sebelum lanjut, mesti tau dulu kenapa pendaftaran alumni bisa masuk PENDING? 

  1. Tak satupun dari 5 nama yang dikirim random (oleh pendaftar?oleh salah satu alumni terverifikasi? ) mereferensikan bahwa itu temannya.
  2. Ketua/koordinator angkatan tidak mereferensikan dan menjamin itu nama-nama yang masuk adalah temannya.
  3. Pendaftar tidak berupaya menghubungi dan meyakinkan admin bahwa dia alumni valid SMPN 12
  4. Alumni melakukan pendaftaran pada hari2 terakhir MUNAS, yang mengakibatkan penghentian proses verifikasi beberapa kali akibat arus pendaftaran ratusan alumni  bersamaan.
  5. Alumni didaftarkan secara kolektif namun di antara list tersebut ada 1 alumni terindikasi fiktif.

Khusus kasus no 5 keputusan mengacu adagium nila setitik rusak susu sebelangga. Satu kebohongan merusak semua. 

Jika dalam list yg dikirim, misal 10 nama ada 1 nama terindikasi fiktif maka 9 nama lainnya kami hold atau bahkan cancel jika sudah telanjur approved. Butuh waktu bagi kami memastikan serombongan itu benar-benar manusia. 

Memang yang terjadi kala itu, ketika dapet list gelondongan nama-nama dalam excel atau chat WA biasanya kami langsung percaya dan approve. Dan cuma dari kubu 1 caketum yg permintaan approvenya gelondongan. Yang lainnya generik.

Sama-sama teman masa sih ada kedustaan…. Toh ada anggota tim selanjutnya yg akan memverifikasi lebih lanjut melalui cara berbeda.

Lantas jangan salahkan verifikator yg kemudian tidak meloloskan real alumni. Bukan tidak meloloskan sebenarnya, hanya hold, pending. Menunggu badai berlalu. Atau sampai alumni tsb menghubungi sendiri langsung guna meyakinkan tim verifikator. 

Dalam kondisi badai pendaftaran plus tekanan kanan kiri kami mengharap alumni yang masih pending bisa melakukan konfirmasi mandiri setelah 3 hari. Aturan demikian sudah tersebut di WA Notif.

Namun banyak yang pilih diam. Atau tidak tahu namanya didaftarkan sepihak berdasar data yang dicolect dari TU sekolah, temen sepertemanan, hingga angkatan-angkatan dengan tingkat care (terhadap terhadap) rendah. Bisa jadi, karena ada indikasi ke sana. (Kebanyakan alumni 2000 ke atas datanya membagongkan)

Sayangnya, yang bersuara malah bikin drama. Bukan mengkonfirmasi dengan data real tapi menuding admin pilih kasih, admin berpihak, dan semacamnya. Apalagi kalau sudah masuk circle timses…hufft. Syet deh!. rasanya pengin nampol timses satu per satu.

Lanjut soal kelompok 265 yang no respon itu. Saya tengarai alumni-alumni yang berada di kelompok ini adalah hasil submit paksa salah satu “mesin partai” demi mendulang suara.

Namun saya tak akan membahasnya sekarang. Yang jelas seluruh alumni di kelompok tersebut  adalah fiktif (point 4). Sampai sekarang tak ada permintaan maaf dari siapapun yg pernah berusaha menjebol sistem. 

Final call alumni juga saya lakukan terhadap alumni yg terindikasi mencurigakan namun lolos verifikasi. Sebanyak 40 alumni (seluruhnya dari 2002) sampe 2 hari belum merespon sapaan sehingga statusnya menjadi DENIED. 

Btw, apakah 40 alumni tsb saat MUNAS ikut nyoblos? Ini jelas isu sensitif.

Jujur, Kami cek satu per satu ada 15 lolos nyoblos. Sisanya gagal nyoblos karena statusnya yg awalnya DPT tiba-tiba balik lagi non DPT setelah terindikasi fake.

Lagi-lagi saya pribadi ga cuma ingin nampol, pengin ngepruk salah satu saksi yang mengatakan terjadi fraud di sistem, kemudian menyuarakan tuduhan fraud di grup pendukung, mungkin juga ke publik.

Sekarang 15 fake alumni itu nyoblos apa? Tidak elok dipaparkan disini. Silakan menemui tim database secara offline dengan niat tulus mencari kebenaran. Offline ya. Bolehlah ramai2. Saya siap. Demi Allah, sejengkal langkah sehirup nafas senantiasa dalam persaksian-NYA. 

Saya termasuk yang keberatan dengan keinginan Ketum terpilih yang meminta nama-nama alumni fiktif itu dibersihkan. Banyak temen pun meminta hal sama. Mungkin maksudnya dihapus. Bagi mereka, kehadiran alumni-alumni fiktif (sebagian bilang klonengan) sangat memalukan, bikin risih, dan mengganggu statistik. Jadi ya pantas, bahkan wajib dihapus.

Namun bagi saya menghapus alumni fiktif berarti menghapus jejak sejarah. Jejak harus ada sebagai bagian sejarah perjalanan organisasi. Jejak diperlukan sebagai bukti keburukan di masa lalu, agar menjadi pelajaran generasi selanjutnya.

Secara pribadi saya pun berhak membuka data yg kebetulan saya pegang hingga sekarang. tidak ada kepentingan apapun selain tak ingin kecurangan terus menjadi isu di kemudian hari. Isu tanpa dasar selain menurut kata ini, kata itu dan desas desus. 

Rencana saya ungkap tahun depan (2024), tpi berpotensi menjadi gorengan politik. Kalau tidak dibuka sama sekali dg dalih kondusifitas, akan menjadi beban tak berkesudahan. Lagian, emang enak menyimpan rahasia seumur hidup? 

Seorang netijen dg sok kritisnya mengatakan “harusnya langsung diungkap”. “harusnya disidang”!.

“Hei mbang. Kemana elo saat itu. Tidak liat kah kerusuhan di WAG, tidak tampakkah aksi2 timses memasuki ruang sidang tanpa mau diusir, tidak tahukah ancaman2” Jawab seseorang.

“Halooo…dengan pelanggaran beratnya, dia harusnya sdh di disk…. Lha koq nyuruh sidang”. Tegas yang lainnya.

“Mekanisme pengungkapan juga belum ada. Bukti kecurangan sudah diserahkan pimpinan sidang. Presidiumpun ngeri melihat isinya. Sampai harus melakban amplop coklat data kecurangan.”

“Jangan sampai ada yg tahu. Bisa pengaruhi karir seseorang.” Respon bijak presidium.

Sudah jelas, presidium menghendaki kekeluargaan. Karena gimana-gimana ini loh cuma alumni SMP. Semua adalah sedulur. 

Hanya saja realita tak semulus ekspetasi, bahwa jalan kekeluargaan yang dipilih tidak membuahkan harapan. Malah berdampak militansi pendukung diwarnai makian, tuduhan intimidasi, mengatakan bar-bar, kekerasan verbal, si paling dirugikan, paling dicurangi, korban rekayasa. Dan segala kata-kata yang tak pantas disebut. Niat baik memang tidak selalu diterima dengan baik.

Mendatang saya akan cerita badai yang terjadi di hari-hari menjelang pencoblosan berakhir. Sekuatnya badai hingga malam jelang shubuh itu, salah satu dari kami ke masjid. Bersimpuh. Mohon pada-Nya dari fitnah yang dialami. Menangisi kebusukan yg terjadi. Saat dimana kecurangan dipaksakan menjadi kebenaran. Dia butuh kekuatan. Suasana memang penuh tekanan.

Hingga kini, hampir 2 tahun berjalan, fitnah itu masih saja berhembus. Naik turun mengikuti dinamika. Semakin berisik. Tiada henti. Kecurangan disamarkan. kesewenangan diberi ruang. Hingga tercipta desakan untuk dirangkul dengan endors2 menyalahkan Pengurus.

Mereka tidak mau berhenti. Saya pun bisa melakukan keberisikan yang sama. Dengan data.

Dan ini masih pengantar.

Leave a Reply

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *